| | |
Keanehan pertama muncul. Pengunjung masuk tanpa perlu membayar tiket masuk. Ini dimungkinkan karena Pemda belum menetapkan harga tanda masuk ke dalam taman yang dibangun oleh PemProv Papua sejak tahun 1990. Lantas dari mana dana pengelolaan kawasan seluas 5 hektar itu?
Dengan tidak adanya tarif resmi, maka terjadilah pemberian sukarela oleh pengunjung kepada penjaga. Soal nilainya, bervariasi. Ada yang memberi antara Rp2.500—Rp10.000, ada pula yang hanya memberi senyum. Sementara itu, tiket masuk ke Goa Jepang sebesar Rp2.000 dan goa 5 Pintu Rp5.000. Pemasukan yang didapat TBAB dari pemberian ”sukarela” ini digunakan untuk kebutuhan sehari-hari pengelola/honorer. Cukup? Ah, tentu saja tidak…..
Setelah menggali informasi lebih dalam, ternyata anggaran untuk TBAB masuk ke dalam Program Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, yang mencakup pengembangan usaha kehutanan Provinsi di Kabupaten Jayapura, Biak-Numfor, Sorong, Fak-Fak dan Manokwari. Perkiraan biaya keseluruhan anggaran untuk program tersebut, termasuk TBAB adalah Rp 1.551.343.000,-.
Teriknya sengatan matahari dan celoteh burung paruh bengkok menyadarkan kami dari keheranan, untuk kembali mengamati satu-satunya taman burung di Papua.
Pada dasarnya, TBAB dibagi menjadi tiga kompleks. Di sayap kiri berjajar dua kandang panjang yang dipisahkan oleh gang beton selebar kira-kira tiga meter. Di sayap kanan terdapat beberapa kandang tunggal. Sedangkan di bagian tengah terdapat kebun anggrek dan kolam besar. Pada beberapa sudut taman, tersedia tempat duduk dari beton untuk pengunjung beristirahat. Tersedia pula beberapa kursi kayu dan sarana permainan walau, ehm.., kurang terawat.
Kandang panjang di sayap kiri, diberi sekat untuk memisahkan satu jenis burung dengan jenis lainnya. Beberapa jenis nuri, kakaktua, kumkum, merpati, beo Irian, hingga Julang/taon-taon. Satu kandang dapat berisi satu ekor, lebih dari satu ekor, bahkan beberapa ekor dari jenis yang berbeda.
Nama ilmiah dan nama ”Indonesia”-nya burung dilekatkan pada tiap kandang untuk memudahkan pengunjung mengetahui namanya. Keanehan kedua muncul di benak kepala kami. Bagaimana jika burung-burung tersebut ingin minum ya? Soalnya, sebagian besar kolam airnya kering. Padahal sinar matahari langsung menyinari kandang-kandang yang jauh dari teduh. Bagaimana jika mereka ingin melepas hasrat biologisnya? Sebab, tidak ada sarang buatan yang memungkinkan mereka berketurunan.
Di sayap kanan dari TBAB, terlihat sejumlah kandang tunggal atau kopel yang berisi satu ekor atau lebih burung kakaktua, nuri, dan beo Irian. Bagian paling kanan berjejer dua buah kandang besar ukuran persegi panjang, kira-kira 20x10x10m. Di dalamnya hidup ”bebas” bersama-sama antara burung cenderawasih kuning, cenderawasih 12 antena, Kumkum tanah, beo Irian, Mambruk, dan Urip. Di dua kandang inilah atraksi terbaik dipertontonkan, karena burung dapat terbang lebih leluasa, kandangnya teduh, tersedia kolam air besar, dan terdapat pohon besar tempat bermain. Tapi pemenuhan hasrat biologis tampak belum terfasilitasi.
Pada bagian tengah, terdapat beberapa rumah beratap jaring-jaring untuk koleksi anggrek. Jangan harap ada petunjuk nama jenisnya karena khawatir ada pengunjung yang ”rasa memilikinya” tinggi, sehingga anggrek akan berpindah tempat.
Selagi termangu menatap kolam berwarna coklat kehijauan itu, kami tersentak oleh keanehan ketiga. Kukuruyuuukkk….suara ayam berkokok. Ayam hutan atau ayam kampung? Ternyata beberapa ekor ayam kampung berkeliaran di dalam TBAB. Mungkin belum terpikir jika ayam-ayam tersebut menderita penyakit tetelo yang dapat menular pada burung-burung di dalam TBAB. Jika penularannya terjadi sporadis dan cepat tanpa ada deteksi dini, maka tamatlah riwayatnya.
Kapan mau mandiri?
Dalam 6 bulan terakhir (Mei-Oktober 2002), TBAB dikunjungi oleh 973 orang dari dalam dan luar negeri. Hampir 60% pengunjung berasal dari Biak dan 16% dari mancanegara. Jika setiap pengunjung dikenakan biaya masuk Rp3.000 maka pengelola akan memperoleh rata-rata sekitar Rp486.000/ bulan. Jumlah itu bahkan tidak cukup untuk membayar satu orang pegawai TBAB. Namun rasanya ini masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Kelak biaya dapat ditingkatkan seiring dengan meningkatnya fasilitas dan layanan di TBAB.
Peningkatan fasilitas, layanan, dan pilihan wisata sudah menjadi keharusan jika ingin menggarap TBAB dengan serius, sebagai wahana rekreasi, wisata dan pendidikan konservasi. Ada tiga komponen utama yang harus menjadi prioritas.
Pertama, perbaikan SDM dan manajemen TBAB dalam banyak hal dan tingkatan. Pendekatan proyek sudah bukan zamannya lagi. Mulai dari penetapan tiket masuk yang diringi dengan timbal balik berupa layanan informasi kepada pengunjung.
Kedua, perbaikan dan perawatan fasilitas TBAB yang sudah ada, baru penambahan. Kebersihan kandang dan makanan mungkin merupakan prioritas utama dalam komponen ini. Fasilitas tersebut tidak hanya untuk burung dan anggrek, tetapi juga fasum bagi kenyamanan pengunjung. Misalnya pondok istirahat, toilet dan tempat bermain anak-anak.
Ketiga, promosi wisata terpadu dengan objek wisata lainnya di Biak, seperti goa Jepang dan wisata laut. Promo ini tentu memerlukan kerjasama dengan pihak swasta seperti hotel dan biro perjalanan.
Berdasarkan sumber dari Dinas Kehutanan Biak, proyek TBAB akan dialihkan ke Pemda Biak. Sementara itu, Biak akan kembali dibuka sebagai bandara internasional yang memungkinkan masuknya arus wisatawan mancanegara langsung ke Biak. Pergeseran kebijakan ini merupakan peluang yang jika lambat disikapi dengan baik, niscaya TBAB akan bernasib sama dengan hotel mewah yang pernah menjadi kebanggaan Biak.
Ah, kami terbangun dari mimpi karena teriakan burung taon yang sengau. Kami keluar dari taman, mengisi buku tamu dan memberi uang ”simpati” kepada penjaga. Ketika kami menoleh lagi ke belakang, muncul keanehan keempat. Kok tidak ada informasi jam buka dan jam tutup ya? Wah…jangan coba-coba datang lebih dari jam 2 siang deh…alamat akan melihat gerbang terkunci….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar