Sekali lagi, menyebut Makassar adalah Pantai Losari, PSM Makassar, lapangan Karebosi dan yang terakhir banyak muncul di berita tv ; tawuran mahasiswa. Menyebut Makassar juga berarti ; orang Bugis. Saat duduk di bangku SD, yang aku tahu soal Sultan Hassanudin, Arung Palaka atau Karaeng Galesong adalah pahlawan dari Sulawesi Selatan, pahlawan dari negeri kaum pelaut ; Bugis. Beberapa kali mengunjungi Makassar , termasuk kali ini, bangunan pengetahuan itu menjadi buyar. Sulawesi Selatan cukup beragam. Ada Bugis, Makkasar, Kajang dan Toraja. Belum lagi orang Bajo yang berkelana di lautan, di simpang pulau Selayar.
Dua hari di Makassar ini membuatku memiliki kesempatan berdiskusi cukup panjang dengan orang bugis dan mandar. Yang pertama adalah Jufri, orang bugis asal Takalar, sekitar 2 jam dari Makassar, sebelum kota Jeneponto, tempat seorang sahabatku di lahirkan. Dia adalah sopir taksi, yang mengantarku semalam ke beberapa tempat di kota ini. Sepulang me nyelesaikan pekerjaan, dia sedianya akan mengantarku pulang ke tempatku menginap, tak jauh dari Losari, di mana pedagang ikan bakarnya sudah digusur ke Pantai Laguna. Tiba-tiba ide berubah untuk berkeliling Makassar , mencari sop konro yang seingatku tak jauh dari lapangan Karebosi yang melegenda itu. Yah, aku mengajaknya makan malam sop konro karebosi di daerah jalan Lampobatang.
Melewati Karebosi, sungguh kaget ketika lapangan tersebut, tempat berkumpul banyak orang, telah dipagar dan berdiri mall megah di dekatnya. Menurut Jufri, mall tersebut ada juga di bagian bawah tanahnya. Dengan sedih, dia mengatakan bahwa pemagaran tersebut menjadikan satu-satunya lapangan tempat dia biasa bermain dengan kedua anaknya menjadi “hilang”, menjadi bukan milik orang kebanyakan lagi. Dia mengajakku ke mall tersebut, serta merta aku menolak karena bukan hobiku jalan di tempat semacam itu. Sekali lagi, atas nama keindahan kota , orang kecil seperti Jufri menjadi tak berhak lagi atas Karebosi.
Jufri, tak ada kesan orang Bugis yang sangar di wajahnya. Berbicara halus, itupun hanya bila ditanya. Sungguh santun. Dia mengucap terimakasih berulangkali setelah aku traktir sop konro baker, yang dia makan dengan sungguh lahap. Aku senang melihatnya. Menurutnya, setelah 10 tahun merantau di Makassar , belum pernah dia makan sop konro di tempat tersebut. Baginya, susu untuk anak-anaknya jauh lebih penting,d aripada memuaskan diri makan di tempat agak mahal. Tentunya jufri adalah contoh ayah yang baik, seorang teladan. Hamper menangis, tampak dari wajahnya, saat aku meminta dia untuk membungkuskan makanan yang sama untuk anak-anaknya.
Lain dengan Syafaruddin. Orang Mandar asal Majene ini mengaku lahir dan tumbuh sampai dewasa di Balikpapan , kota plural yang lain di Kalimantan. Pantas sedikit-sedikit dia sering mengucap guyonan berupa umpatan khas jawa timur, saat mengantarku ke bandara hasanuddin pagi ini, melanjutkan penerbangan ke Manado . Satu jam perjalanan, hamper tak sedetikpun dia berhenti bicara. Sopir taksi bosowa ini ini memang sungguh renyah. Giginya hampir berkurang separuh, menurutnya karena terlalu sering minum air sungai Mahakam yang tercemar di masa kecil, sehingga keropos. Pria beranak 4 ini terlihat lucu saat bercerita.
Dia bercerita bahwa orang Mandar yang mendiami Sulawesi Barat memiliki banyak perbedaan dengan orang Bugis atau Makassar . Menurutnya, orang Bugis dan Makassar sedikit ketat soal harga diri atau “siri”, sehingga sedikit-sedikit soal siri ini bias menjadi konflik fisik. Baginya orang Mandar lebih fleksibel, lebih baik persoalan diselesaikan dengan dialog, tanpa perlu kekerasan, apalagi membawa kerabat, atau banyak orang. Dalam perusahaan taksi tempat dia bekerja, perbedaan ini sering menjadi masalah, meski tidak menjadi bentrok.
Aku hampir tidak mendengar saat dia terus saja bercerita, karena memang kurang tidur dan mengantuk sekali. Hanya satu hal yang aku tangkap, sama seperti bugis , bajo dan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar